Allahu
Akbar… Allahu Akbar!
Alunan
azan membahana dari masjid seantero kota Surabaya. Udara pagi terasa menelusuk
tulang hingga mendorong tanganku menarik selimut dan menyempurnakan posisiku, menutupi
seluruh bagian tubuhku.
Seruan
itu kembali mengoyak telingaku. Akhh… mataku terasa berat sekali. Kurasakan
lelah yang mendera di sekujur tubuh. Kututup kedua telingaku dengan bantal. Aku
tak hendak mendengarkan seruan itu.
Asyhadu
anlaa ilaaha illalloh…! Aku tak sanggup lagi. Mataku telah tergembok rapat.
Semalaman aku berkencan dengan seabrek tugas kantor yang harus kuselesaikan
hari kemarin. Keadaan seperti ini sering terjadi saat aku sedang kelelahan tak
bisa mengahantarkan tubuhku ke kedinginan air yang menyergapku. Aku kalah pada
keadaan. Sebenarnya tidak juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena
kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh istirahat yang cukup.
***
Kriiingg…
kring…! suara jam weaker mengejutkanku hingga aku terbangun dari tidur yang tak
begitu nyaman. Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi ke
kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien-klienku, tak boleh terlambat.
Tak lama kemudian, hand phoneku berdering.
Hallo…
dengan Rio, ada apa menghubungi saya pagi-pagi begini?
…………
Baik
saya segera ke kantor!
Dalam
sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota yang mulai dilanda macet dan
berbaur dengan aroma CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat sepagi
ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida yang membanjiri Surabaya.
Namun aku sudah bersahabat dengan segala keadaan ini, karena mencari uang
adalah hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada kenyamanan lahir, telah
membuatku puas.
Dulu,
waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh nasihatnya agar aku tak
meninggalkan shalat. Tapi nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa
aku shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan datang ketika
aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. Kalau aku begitu, jadilah aku orang
yang miskin, yang hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat makan
barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari langit seperti hujan. Mustahil.
Dan jadi orang miskin itu hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja.
Assalamualaikum!
Selamat pagi, Bos! sapa seorang karyawan.
Pagi..
aku menjawab tanpa menoleh. Aku menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh
layaknya seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku ceritakan
sebelumnya. Aku puas dengan semua kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan
harta. Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan bahkan tak merasa ada
orang yang telah melahirkanku dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan
sekarang aku bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku senang dengan
hidupku.
***
Ruang
kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena aku menginginkan kenyamanan
ketika berada di dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin kendaraan yang
berlalu hilir mudik di sekitar kantorku. Memang, letak kantorku sangat
strategis. Dan aku tak sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari
mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman hinggap di bagian
tubuhku yang paling dalam. Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan
ketaknyamanan tak bertepi. Jangan lupa sholat Nak!… sekelebat bayangan wanita
50 tahun-an lewat di ruang otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan
bayangan itu.
Tok..tok..tok!
Partikel-partikel
pada daun pintuku bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang berfrekuensi
tinggi dan mengejutkanku.
Masuk!
jawabku sekenanya.
Pak
Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!
Sari
kemarin kok izan, izin… Bapak tidak lihat apa kantor kita sedang banyak
orderan?! Baru setahun jadi karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!
Iya,
saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya kembali, saya selesaikan tugas
saya.
Baiklah!
Sepuluh menit! Aku marah.
Entah
apa yang membuatku marah. Mungkin rasa berkuasalah yang selama ini telah
mengalahkanku. Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang berhadapan
dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu memposisikan diriku sebagai bos. Aku
merasa bahwa aku berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka ada di
tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan selama ini,
jika ada karyawan yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon padaku
untuk dikembalikan pekerjaannya.
Tapi
kurasakan keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah memarahi Pak Halim,
seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan 15.00 meminta izin untuk keluar
sejenak. Yang mukanya selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar
menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di hadapannya.
Setahuku
dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai
potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku. Karena itulah, aku tetap
mempertahankannya di perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia
sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku marah-marah padanya hari
ini dan tak jarang pada hari-hari lain?
Lama
sekali orang ini! Aku membatin sambil menunggu Pak Halim yang sudah hampir
setengah jam tak muncul- muncul juga di hadapanku.
Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.
Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.
Maaf,
Pak! Tadi saya harus…
Ah…
Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh duduk di kursi itu lagi!
Pak
Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu berpamitan setelah mengucapkan
terima kasih.
***
Sejak
kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku sendiri kini yang harus memikirkan
nasib perusahaanku. Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua
yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu muncul setiap kali aku
membutuhkan konsentrasi untuk memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang
kuambil tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung tikar. Utang di
mana-mana.
Aghhhhrrrhhh…!
Aku marah pada diriku sendiri. Aku terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih
mendampingiku, aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal.
Kustarter
BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali
ini tak tahu aku akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke kampung
halaman, meminta maaf pada ibuku, menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu
juga kepada saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi tempat
curhatku, kini tak ada lagi di sampingku.
Nak,
bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah ibadah yang pertama kali
dihisab. Tiba-tiba bayangan Ibu muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi
pandanganku ke depan.
Nak!
Kembalilah kejalan Tuhan-Mu! Kali ini keringat dingin membasahi sekujur
tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan.
Nak!
Ingatlah… semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!
Tidaakk…!
Klakson dari mobil belakangku membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan
cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku menyilaukan pandangan
ini, saat bayangan Ibu hilang, yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali,
hingga aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus beriringan.
Ciiitttt!
Brakkkk!!
Aduhh…
kurasakan nyeri yang tak terperi di bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir
dari kedua telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat sangat ini.
Bu,… maafkan aku…!
Ini
peringatan buatmu, Nak! Kembalilah! itu adalah kalimat terakhir ibu yang masih
dapat kudengar dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya bayangannya.
***
Di
mana aku? Mana Ibu ..? Samar-samar kulihat wajah yang tak asing itu duduk di
sampingku.
Pak
Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!sembari bertanya-tanya pada
diriku sendiri, mulutku terus berkomat-kamit.
Pak
Halim hanya memandangiku haru. Air matanya mengalir. Sesekali ia seperti
mengucapkan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa.
Astaghfirullohalazhiim…!!! ku berteriak mengharapkan ampunan dari Allah. Namun
lagi-lagi, aku tak mendengar teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan
aku baru sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat mendengar dan mungkin
juga tak dapat berbicara. Aku tuli.
Tak
ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya jeritan dalam hati yang mampu aku
teriakkan. Tubuhku menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk
sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam di dinding kamar putih
itu menunjukkan pukul dua belas siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi
Pak Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu ketika aku sering
mengunci rapat-rapat telingaku dari suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini
suara itu benar-benar tak dapat lagi kudengar. Selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar